Kamis, 07 Januari 2016

Maria Elisabeth Hasugian - 1302045084 - Tugas ASEAN Way


Nama               : Maria Elisabeth Hasugian
NIM                : 1302045084





ASEAN WAY


Pascapembentukan ASEAN, para anggotanya menyepakati seperangkat norma prosedural, yaitu seperangkat pedoman kerja untuk pengelolaan konflik yang ditetapkan secara prosedural, yang diperkirakan juga akan mewujudkan semangat ASEAN Way (Nikolas Busse dalam Goh, hal. 114). Hadi Soesastro (dalam Goh, hal. 114) mengidentifikasi norma-norma mencari persetujuan dan harmoni, prinsip sensitivitas, kesopanan, bersifat nonkonfrontasi dan keramahan, prinsip diplomasi yang tenang, privat, dan elitis melawan public washing of dirty linen, prinsip non-Cartesian, serta nonlegalistik. Penambahan norma lain ditemukan dalam Association’s Treaty of Amity and Cooperation pasal 2, yaitu menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa, non-intervensi dalam urusan internal satu sama lain, penyelesaian sengketa dengan cara damai, dan penolakan dari ancaman atau penggunaan kekerasan. Nikolas Busse (dalam Goh, hal. 115) menyatakan bahwa ASEAN Way adalah metode dan norma yang digunakan oleh organisasi dalam menghadapi situasi konflik di Asia Tenggara.


Penjelasan yang konvensional dan rasionalis menjelaskan bahwa negara-negara anggota ASEAN harus mulai membuka diri untuk membuka diskusi antar anggota untuk membahas isu-isu baru seperti isu lingkungan maupun ekonomi dengan cara yang lebih efisien. Konstruktivis menjelaskan bahwa fokus ASEAN berubah untuk lebih “mengglobal” dalam menghadapi isu demokrasi serta hak asasi manusia. Di dalam pertemuan rutin, negara-negara ASEAN mulai membicarakan isu-isu yang lebih mengglobal di dalam perbincangan yang terbuka antar-anggota. Perubahan ini memicu perubahan norma tradisional ASEAN yang dari awalnya tidak ada intervensi masalah internal antarnegara ASEAN menjadi intervensi konstruktif. Prinsip non-intervensi ini tetap diupayakan karena berdasarkan sejarah, ASEAN banyak mengalami kesalahpahaman ketika harus melibatkan diri pada urusan domestik anggotanya. Misalnya, ketika ASEAN Summit yang ketiga di Manila, banyak sekali anggota ASEAN yang mengajukan pernyataan kepada Presiden Filipina, Marcos, dan Corazon Aqoino, sebagai oposisi, dalam merespon hasil pemilu tahun 1986 yang akhirnya disebut sebagai ASEAN Joint Statement 1986 (Haacke, 1999:583).


ASEAN Way mendorong negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk mencari cara untuk bekerja sama secara maksimal dengan cara dialog serta konsultasi. Thailand kemudian mengajukan proposal flexible engagement pada tahun 1998 sebagai terobosan baru dalam diplomasi di ASEAN[2]. Flexible engagement adalah perbincangan yang dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN mengenai masalah domestik dan kebijakan internal anggota ASEAN tanpa ada maksud untuk mengintervensi negara satu sama lain. Proposal dari Thailand tersebut awalnya tidak diterima oleh negara-negara anggota ASEAN, kecuali Filipina, karena menganggap proposal tersebut sebagai pelanggaran intervensi isu domestik suatu negara. Myanmar, Laos, Kamboja dan Malaysia menyebutkan keberatan dari segi historis yang sudah terlalu diintervensi oleh pihak eksternal sehingga mereka ingin menyelesaikan permasalahan sesuai dengan cara mereka sendiri (Ramcharan, 2000:79)..


Flexible engagement kemudian dianggap mampu mengontrol anggota ASEAN (Jurgen dalam Haacke, 1999:583). Flexible engagement dalam kata lain merupakan intervensi konstruktif, yang memperbolehkan adanya intervensi terutama ketika permasalahan internal berpotensi mengganggu stabilitas regional, seperti permasalahan keamanan dan kemakmuran. Surin menyatakan ingin membawa ASEAN ke standar internasional dan meminta beberapa negara melakukan transparansi dalam rangka memperkuat kredibilitas dan kapasitas ASEAN dalam melakukan proteksi kepentingan. Argumen-argumen Surin tersebut memperoleh dukungan dari Amnesti Internasional melalui pernyataan yang menyambut baik pergerakan di dalam ASEAN karena telah membuka dialog dan intervensi di antara negara anggota untuk isu-isu seperti kemanusiaan.


Namun intervensi konstruktif tidak lantas menghilangkan prinsip non-intervensi yang selama ini telah dipegang teguh oleh ASEAN. Menurut Haacke (dalam Ramcharan, 2000:79), pelibatan dapat dilakukan dalam persepsi: (1) permasalahan tersebut memberikan ancaman terhadap identitas ASEAN sebagai kelompok regional dengan anggota negara yang demokratis dan memiliki otoritas; atau (2) permasalahan tersebut berakibat buruk pada rezim keamanan sebagai akibat dari kekacauan sosial-ekonomi yang merupakan akibat dari krisis finansial regional. Pemikiran rasionalis dalam hal ini sangat diperlukan karena keputusan bersama dari negara-negara ASEAN merupakan hal yang krusial suntuk menyelesaikan suatu konflik tanpa mengintervensi isu domestik dari masing-masing Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar