Kamis, 07 Januari 2016

Muhammad Arif - 1302045093 - Tugas ASEAN Way

Nama : Muhammad Arif (1302045093)
         
Judul Tugas : Dilema ASEAN Way dalam Penyelesaian Konflik Etnis Rohingnya.
          

          Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau yang lebih umum dikenal dengan sebutan ASEAN merupakan organisasi geo-politik dan ekonomi di kawasan Asia Tenggara, yang berdiri  pada 8 Agustus 1967 di Bangkok berdasarkan deklarasi Bangkok oleh 5 anggota pendiri yaitu negara Indonesia, Malaysia, Filipina , Singapura, dan Thailand. Kemudian ada 5 negara lain yaitu Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Di dalam perjalanannya, ASEAN sebagai sebuah organisasi yang memiliki potensi untuk bisa bersaing dengan organisasi-organisasi internasional di kawasan lain  yang terkadang juga sering memiliki problematik antar negara anggota di dalam internal kawasan sendiri.
          
         ASEAN Way (Cara-cara ASEAN) dapat di asumsikan sebagai cara-cara  untuk menanggapi dan menangani suatu permasalahan internal yang biasanya melibatkan beberapa pihak dalam rangka melakukan manajemen untuk menemukan resolusi konflik dengan tidak melanggar prinsip-prinsip utama ASEAN. Prinsip-prinsip itu tersebut meliputi ;
·         Menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesamaan, integritas wilayah nasional, dan identitas nasional setiap negara
·         Hak untuk setiap negara untuk memimpin kehadiran nasional bebas daripada campur tangan, subversif atau koersi pihak luar
·         Tidak mencampuri urusan dalam negeri sesama negara anggota
·         Penyelesaian perbedaan atau perdebatan dengan damai
·         Menolak penggunaan kekuatan yang mematikan
·         Kerja sama efektif antara anggota

 ASEAN Way juga merupakan suatu pembentukan identitas bagi negara-negara di Asia Tenggara di tengah maraknya dominasi negara-negara barat dan maju. ASEAN Way dapat menjadi suatu pedoman bagi negara-negara di Asia Tenggara khususnya untuk bertindak dalam menyelesaikan masalah. Dan beberapa karakteristik dari ASEAN Way  antara lain adalah Penghormatan terhadap kedaulatan masing-masing negara anggotanya dengan tidak melakukan intervensi terhadap masalah internal negara lain, dan berupaya menemukan resolusi konflik dengan cara-cara damai serta tidak menggunakan cara kekerasan. Untuk metode manajemen konflik-nya sendiri (melalui konsep Asean Way) umumnya menggunakan cara bermusyawarah atau konsensus.


ASEAN Way mendorong negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk bekerjasama secara optimal dalam upaya-upaya penyelesaian masalah tersebut melalui berdialog serta berkonsultasi.  Prinsip non intervensi yang kerap dianggap dapat menjadi penghambat dalam upaya optimalisasi peran dari ASEAN untuk membantu menyelesaikan konflik yang berada di dalam internal wilayah anggotanya, hal itu merupakan bentuk sebuah penghormatan atas kedaulatan negara yang memiliki konflik tersebut. Di sisi lain, terkadang permasalahan-permasalahan domestik tersebut dapat berdampak secara luas dan dapat menarik negara lain kedalam lubang permasalahan tersebut, seperti hal nya konflik domestik antara pemerintah Myanmar dengan Suku Rohingnya yang mengalami diskriminasi berat hingga menyita perhatian dunia Internasional atas peristiwa yang menggambarkan ‘Krisis Kemanusiaan’ di Myanmar tersebut.

  ASEAN sebenarnya sudah mengadopsi prinsip-prinsip penegakan hak asasi manusia melalui dibentuknya ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR) pada tahun 2009. Selain itu juga tercantum dalam Piagam ASEAN mengenai proses pembangunan komunitas ASEAN yang melindungi hukum, hak asasi manusia dan terwujudnya stabilitas dan perdamaian di Asia Tenggara. Institusionalisasi isu hak asasi manusia merupakan upaya yang dilakukan ASEAN untuk melakukan penanganan yang lebih serius mengenai krisis pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Asia Tenggara. AICHR dihadapkan dengan kecendrungan organisasi pada norma konservatif akan kedaulatan negara dan prioritas negara anggota akan investasi asing yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi daripada perlindungan hak asasi manusia. Salah satu fungsi pembentukan AICHR adalah untuk memberikan informasi dari negara anggota untuk mendorong promosi dan perlindungan akan hak asasi manusia.

            Dilema penegakan hak asasi manusia dalam skala kawasan muncul dikarenakan Piagam ASEAN menyediakan landasan hukum bagi prinsip non-intervensi yang menjadikan ASEAN tidak memiliki legitimasi dan otoritas yang cukup untuk mengintervensi masalah konflik dan pelanggaran hak asasi manusia internal negara-negara anggotanya. Prinsip non-intervensi terdapat dalam pasal 2 piagam ASEAN : (e) non-interference in the internal affairs of ASEAN Member States, (f) respect for the right of every Member State to leads its national existence free from external interference, subversion and coersion. Doktrin ini kemudian menghambat penerapan hukum hak asasi manusia dalam lingkup regional dan memungkinkan negara untuk melakukan penyalahgunaan terhadap perlindungan hak asasi manusia tanpa adanya pengawasan dan hukuman oleh ASEAN.

          Terkait permasalahan Rohingya jajaran kementerian luar negeri negara anggota ASEAN telah mengeluarkan pernyataan sikap pada Agustus 2012, yaitu : (1) mendorong pemerintahan Myanmar untuk terus bekerja dengan PBB dalam menangani krisis kemanusiaan di Arakan, (2) menyatakan keseriusan organisasi regional ASEAN untuk menyediakan bantuan kemanusiaan, (3) menggarisbawahi bahwa upaya mendorong harmoni nasional di Myanmar merupakan bagian integral dari proses demokratisasi di negara tersebut.[1] Sekretaris Jenderal ASEAN, Dr. Surin Pitsuwan, mengingatkan bahwa isu Rohingya dapat mengganggu stabilitas kawasan jika komunitas internasional, termasuk ASEAN, gagal untuk merespon krisisi tersebut secara tepat dan efektif. Surin Pitsuwan juga mengakui bahwa ASEAN tidak dapat menekan pemerintah Myanmar untuk memberikan kewarganegaraan kepada etnis Rohingya.

          Selain itu juga ASEAN sebagai organisasi regional memiliki tanggung jawab untuk menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Myanmar sesuai dengan doktrin Responbility to Protect (R2P) yang telah diadopsi negara-negara anggota PBB pada United Nations World Summit 2005. Doktrin R2P ini muncul sebagai respon atas kasus genosida dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di  Rwanda. Tiga prinsip mendasar dalam doktrin R2P tersebut adalah[2] :

  1. Negara memiliki tanggung jawab utama untuk melindungi penduduk dari genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis,
  2. Komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk membantu negara-negara dalam memenuhi tanggung jawabnya,
  3. Komunitas internasional harus menggunakan cara-cara diplomatik, kemanusiaan dan cara damai lainnya untuk melindungi penduduk dari kejahatan perang. Jika suatu negara gagal dalam melindungi penduduk atau menjadi pelaku kejahatan perang, maka komunitas internasional harus siap untuk mengambil  tindakan yang lebih tegas termasuk penggunaan kekuatan kolektif melalui Dewan Keamanan PBB

Meskipun doktrin R2P telah diadopsi oleh negara-negara anggota ASEAN, doktrin ini belum diterima secara penuh di Asia dan penerapannya juga belum dilakukan secara serius. Khususnya dalam kasus yang terjadi di Myanmar, prinsip non-intervensi dalam urusan internal negara anggota ASEAN yang tercantum dalam piagam ASEAN membatasi ruang ASEAN untuk bertindak melakukan penegakan dan perlindungan hak asasi manusia dalam skala regional. ASEAN tidak mampu untuk melakukan penegakan hukum terhadap pemerintah Myanmar karena tidak memiliki legitimasi hukum dalam skala regional yang memiliki kewenangan di atas hukum nasional negara anggotanya. Meskipun memiliki hambatan ini, ASEAN memiliki mekanisme yang disebut sebagai ASEAN Regional Forum (ARF) dan ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR), yang berkaitan dan dapat digunakan sebagai mekanisme dalam penerapan prinsip R2P. Negara-negara mayoritas muslim seperti Indonesia dan Malaysia seharusnya dapat mengambil peran penting melalui ASEAN dalam melakukan advokasi atas kasus Rohingya.

           ASEAN seharusnya dapat membangun supremasi hukum di atas hukum nasional negara anggota khususnya Myanmar dalam isu perlindungan hak asasi manusia. Dengan kata lain konstitusi nasional, hukum perundangan, kebijakan dan tindakan dari negara anggota ASEAN dapat dikoreksi dan dianulir jika bertentangan dengan tujuan, prinsip dan kebijakan ASEAN dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia. Dalam konteks krisis kemanusiaan Rohingya adanya pembentukan mahkamah konstitusi ASEAN yang memiliki wewenang dan otoritas untuk melakukan peninjauan, pembatalan dan amandemen undang-undang dan kebijakan nasional Myanmar menjadi suatu hal yang sangat penting dalam upaya perlindungan hak asasi manusia di kawasan Asia Tenggara.

ASEAN kemudian mendorong pelaksanaan doktrin Responsibility to Protect (R2P) dalam penanganan krisis kemanusiaan Rohingya. ASEAN bekerjasama dengan negara anggota mayoritas muslim seperti Indonesia dan Malaysia dapat mengambil peranan penting untuk mengadvokasi kasus pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa muslim Rohingnya. Selain itu ASEAN diharapkan dapat pro-aktif untuk berdialog dengan negara-negara perbatasan Myanmar seperti Bangladesh, India dan Thailand dan juga negara-negara mayoritas muslim seperti Malaysia dan Indonesia dalam menemukan solusi bersama mengenai nasib ratusan ribu orang pengungsi Rohingya yang sudah terusir dari Myanmar dan tersebar di berbagai negara. Masalah penyediaan sarana kehidupan mendasar dan kejelasan mengenai status kewarganegaraan Rohingya menjadi problem utama yang harus segera diselesaikan.




[2] Ian G. Robinson and Iffat S. Rahman, The Unknown Fate of the Stateless Rohingya, Oxford Monitor of Forced Migration Volume 2, Number 2, pp. 16-20, http://oxmofm.com/wp-content/uploads/2012/11/Robinson-and-Rahman-FINAL.pdf, diakses pada 16 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar