Rabu, 06 Januari 2016

Muh.Ikvi Zainal Wafa - 132045082 - Tugas Asian Way



Nama   : Muh.Ikvi Zainal Wafa |NIM : 132045082 |Mata Kuliah: HI di Asia Tenggara

A.   Latar Belakang


ASEAN (Association of Southeast Asia Nations) merupakan organisasi geopolitik dan ekonomi yang anggotanya dari negara negara di wilayah asia tenggara. ASEAN berdiri pada tanggal 8 Agustus 1967 di kota Bangkok, Thailand. ASEAN berdiri melalui Deklarasi Bangkok di prakarsai oleh lima negara Asia tenggara antara lain Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Setiap wakil negara pemkrakarsa ASEAN ikut menandatangin deklarasi bangkok, Indonesia diwakili oleh Adam Malik, Filipina oleh Narciso R. Ramos, Malaysia oleh Tun Abdul Razak, Singapura oleh S. Rajaratman, dan Thailand oleh Thanat Khoman.


Berdirinya ASEAN dilatar belakangi oleh beberapa persamaan yang dimiliki oleh negara-negara Asia Tenggara. Persamaan-persamaan tersebut antara lain:
1. Persamaan geografis.
2. Persamaan budaya.
3. Persamaan nasib, yaitu pernah dijajah oleh negara asing (kecuali Thailand)
4. Persamaan kepentingan di berbagai bidang.


ASEAN mempunyai prinsip prinsip utama yang sering disebut dengan ASEAN WAY, ASEAN WAY ini adalah suatu kumpulan norma dan cara ASEAN dalam menghadapi setiap masalah yang timbul dikawasan terlebih bagi setiap negara anggota. Ada lima prinsip utama yang tertuang dalam ASEAN WAY, yaitu :

a)      Konsensus : dalam pembuatan keputusan
b)       Informal Consultation
c)        Menghormati Kedaulatan
d)      Mengusahakan Perdamaian dalam Penyelesaian Sengketa
e)       Non-Intervensi


Menurut Penulis, Diantara 5 ASEAN WAY diatas yang paling memilki kelemahan jika diimplementasikan pada Organisasi Regional ASEAN adalah Non-Intervensi. Mengapa Penulis memilih prinsip tersebut ?

Alasan Penulis memilih Non-Intervensi adalah prinsip tersebut sangat memiliki pengaruh yang kuat terhadap perubahan di ASEAN kedepan.


B.   Ketidakmampuan Non-Intervensi sebagai prinsip ASEAN


1.      Krisis Kemanusiaan Rohingya

Krisis kemanusiaan yaitu kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok minoritas muslim Rohingya di Myanmar telah menyita perhatian publik internasional. Eskalasi konflik yang meningkat antara Buddha Arakan dengan muslim Rohingya memberikan gambaran yang buruk mengenai keseriusan pemerintah Myanmar dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia. Krisis Rohingya ini dipicu oleh insiden pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Ma Thida Htwe (27 tahun), seorang gadis Buddhis Arakan, yang dilakukan oleh beberapa oknum muslim Rohingya pada Mei 2012. Insiden tersebut kemudian memicu gejala kebencian terhadap muslim Rohingya di seluruh daerah Arakan. Beberapa hari setelah insiden itu, masyarakat Buddhis Arakan membalas dengan memukuli dan membunuh 10 orang etnis Rohingya, dalam satu insiden pencegatan dan pembunuhan penumpang bus antar-kota, hingga tewas di Taunggup.


Insiden pembunuhan tersebut menjadi awal bagi meningkatnya gejala kekerasan yang dan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh muslim Rohingya. Kelompok Buddhis Arakan, didukung oleh pendeta Buddha lokal dan aparat keamanan Myanmar, melakukan berbagai tindakan kekerasan secara sistematis terhadap muslim Rohingya meliputi pemukulan, pemenggalan, pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran tempat tinggal, pengusiran dan isolasi bantuan ekonomi. Berbagai tindakan kekerasan ini digunakan sebagai cara untuk mengusir etnis Rohingya keluar dari Myanmar. Aksi anarkisme yang dilakukan oleh masyarakat Arakan ini tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah Myanmar, khususnya perlindungan terhadap keberlangsungan hidup etnis Rohingya dan penegakan hukum terhadap pelaku aksi-aksi kekerasan. Pemerintah Myanmar dinilai sengaja mengambil kebijakan yang diskriminatif terhadap muslim Rohingnya dan adanya dugaan upaya pembersihan etnis (ethnic cleansing) yang dilakukan oleh aparat keamanan Myanmar kepada etnis Rohingya.


Menurut laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs, sekitar 180,000 orang mendapatkan dampak dari dua gelombang kekerasan sektarian antara masyarakat Buddhis Arakan dengan Muslim Rohingya di distrik Arakan Barat pada tahun 2012. Dari jumlah tersebut 140,000 orang masih mengungsi, sebagian besar dari mereka adalah orang Rohingya yang tinggal di 80 kamp dan shelter pengungsian. Sementara itu sekitar 36,000 orang sisanya tinggal di 113 desa terpencil yang mengalami kesulitan akses untuk pelayanan dasar. Sejumlah 167 orang tewas dalam insiden kekerasan (78 orang pada Juni dan 89 orang pada Oktober), 223 orang mengalami luka-luka (87 orang pada Juni dan 136 orang pada Oktober) dan lebih dari 10,000 rumah dan bangunan hancur akibat insiden tersebut.


2.      Prinsip Non-Intervensi dalam penyelesaian kasus

ASEAN sebenarnya sudah mengadopsi prinsip-prinsip penegakan hak asasi manusia melalui dibentuknya ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR) pada tahun 2009. Selain itu juga tercantum dalam Piagam ASEAN mengenai proses pembangunan komunitas ASEAN yang melindungi hukum, hak asasi manusia dan terwujudnya stabilitas dan perdamaian di Asia Tenggara. Institusionalisasi isu hak asasi manusia merupakan upaya yang dilakukan ASEAN untuk melakukan penanganan yang lebih serius mengenai krisis pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Asia Tenggara. AICHR dihadapkan dengan kecendrungan organisasi pada norma konservatif akan kedaulatan negara dan prioritas negara anggota akan investasi asing yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi daripada perlindungan hak asasi manusia. Salah satu fungsi pembentukan AICHR adalah untuk memberikan informasi dari negara anggota untuk mendorong promosi dan perlindungan akan hak asasi manusia.

Dilema penegakan hak asasi manusia dalam skala kawasan muncul dikarenakan Piagam ASEAN menyediakan landasan hukum bagi prinsip non-intervensi yang menjadikan ASEAN tidak memiliki legitimasi dan otoritas yang cukup untuk mengintervensi masalah konflik dan pelanggaran hak asasi manusia internal negara-negara anggotanya. Prinsip non-intervensi terdapat dalam pasal 2 piagam ASEAN[8] : (e) non-interference in the internal affairs of ASEAN Member States, (f) respect for the right of every Member State to leads its national existence free from external interference, subversion and coersion. Doktrin ini kemudian menghambat penerapan hukum hak asasi manusia dalam lingkup regional dan memungkinkan negara untuk melakukan penyalahgunaan terhadap perlindungan hak asasi manusia tanpa adanya pengawasan dan hukuman oleh ASEAN.

Terkait permasalahan Rohingya jajaran kementerian luar negeri negara anggota ASEAN telah mengeluarkan pernyataan sikap pada Agustus 2012, yaitu : (1) mendorong pemerintahan Myanmar untuk terus bekerja dengan PBB dalam menangani krisis kemanusiaan di Arakan, (2) menyatakan keseriusan organisasi regional ASEAN untuk menyediakan bantuan kemanusiaan, (3) menggarisbawahi bahwa upaya mendorong harmoni nasional di Myanmar merupakan bagian integral dari proses demokratisasi di negara tersebut. Sekretaris Jenderal ASEAN, Dr. Surin Pitsuwan, mengingatkan bahwa isu Rohingya dapat mengganggu stabilitas kawasan jika komunitas internasional, termasuk ASEAN, gagal untuk merespon krisisi tersebut secara tepat dan efektif. Surin Pitsuwan juga mengakui bahwa ASEAN tidak dapat menekan pemerintah Myanmar untuk memberikan kewarganegaraan kepada etnis Rohingya.



C.   Kesimpulan

Jika dilihat dari studi kasus diatas, Sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara  ASEAN seharusnya memiliki lebih banyak wewenang untuk mengatur negara-negara anggota ASEAN untuk mencipatakan perdamaian dan keamanan kawasan. ASEAN mungkin akan lebih memiliki hal tersebut jika ASEAN merevisi prinsip Non-Intervensi yang dimiliki sekarang, Jika ASEAN berhasil merevisi prinsip tersebut kemungkinan ASEAN akan menjadi salah satu Organisasi Supranasional yang mapan di dunia Internasional.


            SUMBER DAN REFERENSI

Amitav Acharya, Constructing a Security Community in South East Asia :ASEAN and the Problem of Regional Order, London and New York, Routledge, 2001. 
Aungsan, Killing of Traveling Bengali Muslims in Taung-goke, http://www.salem-news.com/articles/august112012/blood-trails-myanmar-tk.php, diakses pada 3 Januari 2016
Daniel Aguirre, Human Rights the ASEAN Way, JURIST - Forum, Jan. 10, 2012, http://jurist.org/forum/2013/01/human-rights-the-asean-way.php, diakses pada 3 Januari 2016
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar