Kamis, 07 Januari 2016

Shita Udi Fitrizia - 1202045059 - Tugas ASEAN Way



Nama : Shita Udi Fitrizia
NIM : 1202045059


ASEAN (Association South East Asia Nations) merupakan organisasi regional di kawasan Asia Tenggara yang memiliki norma tersendiri. Sebagaimana layaknya sebuah organisasi, maka norma yang dibuat harus dipatuhi oleh anggotanya. Norma yang dibuat oleh organisasi regional Asia Tenggara ini disebut dengan ASEAN Way. ASEAN Way berisi prinsip non-interfensi, non penggunaan angkatan bersenjata, mengejar otonomi regional, serta menghindari collective defense (Khoo, 2004 : 38). Sejak awal berdirinya, prinsip non-intervensi telah diterapkan oleh anggota ASEAN. Konsep dari prinsip ini adalah tentang persamaan kedaulatan yang dimiliki tiap negara tanpa terkecuali. Prinsip non-intervensi ini ditujukan sebagai alat dalam pertahanan nasional, bukan regional. Sehingga, ASEAN memberikan ruang bagi setiap anggotanya untuk menyelesaikan permasalahan domestiknya dengan caranya sendiri. Prinsip dari non-intervensi ini tercermin dalam dokumen ASEAN, Deklarasi Bangkok yang mengindikasikan adanya keinginan terhadap kerjasama regional dengan tetap menghormati prinsip-prinsip yang ada pada piagam PBB.

Pada tahun 1971 ASEAN menyatakan diri sebagai wilayah damai, bebas, dan netral/ZOPFAN (The Zone of Peace, Freedom, and Neutrality). Freedom dalam ZOPFAN juga dimaksudkan sebagai kebebasan yang berhak diperoleh oleh setiap anggota untuk tidak diinterfensi mengenai permasalahan domestik mereka. Interfensi disini bisa diartikan dalam hal kemerdekaan atau independensi serta integritas negara itu sendiri (Ramcharan, 2000: 65). Prinsip non-interfensi ini didasari oleh pengalaman pahit saat masa penjajahan. Maka dengan demikian, konsep ZOPFAN mengakui hak dari setiap negara, baik kecil ataupun besar, untuk memimpin eksistensi nasionalnya yang bebas dari intervensi luar terhadap isu-isu domestik. Karena dikhawatirkan interfensi ini akan mengganggu kebebasan, kemerdekaan dan integritas ASEAN menginginkan netralitas di regionalnya.

Seiring dengan berjalannya waktu, penerapan prinsip non-intervensi ini dianggap terlalu kaku sehingga kerap dikritik oleh dunia internasional. Pada akhirnya muncul gagasan untuk melakukan pelembutan terhadap prinsip tersebut, yakni dengan konsep alternatif seperti constructive intervention, flexible engagement, atau enhanced interaction. Konsep alternative ini merupakan adaptasi dari kejadian-kejadian yang menimbulkan dilemma dalam menerapkan prinsip non-intervensi ini. Seperti misalnya ketika terjadi perselisihan yang terjadi dekat dengan batas teritorial, negara-negara yang berbatasan langsung dengan wilayah konflik ini tidak dapat berbuat apa-apa karena takut dianggap melanggar prinsip non-intervensi. Seperti yang terjadi pada saat Myanmar ingin menjadi anggota ASEAN. Myanmar yang merupakan negara dengan junta militernya tentu memiliki banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia disana. Akan tetapi, negara-negara anggota ASEAN lainnya tidak mampu berbuat banyak untuk mengurangi pelanggaran Hak Asasi Manusia di Myanmar karena adanya prinsip non-interfensi. Hal ini menjadikan Thailand, yang berbatasan langsung secara darat dengan Myanmar, menjadi khawatir akan terjadi ketidakstabilan di negaranya. Sehingga Thailand hanya bisa melakukan kebijakan constructive engagement terhadap rezim the State Peace and Development (SPDC) di Yangon, Myanmar pada 1992 yang akhirnya gagal dan Myanmar masuk menjadi anggota ASEAN (Ramcharan, 2000 : 68). Oleh karena itu, semakin lama, pelaksanaan ASEAN Way semakin dipertanyakan, khususnya prinsip non-interfensinya yang dirasa menyulitkan negara lain. Namun keberlangsungan ASEAN Way masih diperdebatkan hingga sekarang mengingat keefektifitasannya yang sudah berulang kali dipertanyakan oleh anggota maupun internasional, sehingga negara-negara anggota ASEAN harus mampu meratifikasi ASEAN Way sesuai dengan tuntutan zaman

Dalam tulisan ini, penulis berpendapat bahwa konsepsi non-intervensi masih diperlukan dalam organisasi regional, bahkan internasional sekalipun. Menilik dari sudut pandang realis, bahwa setiap negara memiliki kedaulatannya masing-masing yang tidak dapat dicampuri begitu saja oleh negara lain. Walaupun konsepsi ini kaku, namun akan lebih baik jika konsep ini diturunkan lagi menjadi premis-premis yang mengatur segala tindakan yang berhubungan dengan “turut serta” permasalahan domestik negara lain. Ketika suatu negara memiliki permasalahan domestik, dan permasalahan itu tidak mengganggu stabilitas kawasan, maka biarkanlah negara tersebut menyelesaikan permasalahannya. Yang terpenting dalam konteks intervensi ini adalah penghormatan terhadap privasi. Ada negara yang tidak ingin diusik privasinya dalam menangani negaranya oleh negara lain, dan ada pula yang justru meminta negara lain untuk masuk ke negaranya demi menyelesaikan konflik yang sedang terjadi. Memang muncul anggapan dengan adanya non-intervensi tersebut, ada kurang kepercayaan antar satu sama lain anggota. Namun, privasi adalah hal yang memang dimiliki tiap orang atau dalam hal ini Negara dan patut untuk dihormati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar