Nama :
Sonia Regina Francisca
Kelas :
HI REG B (2012)
NIM :
1202045057
Matkul : Hubungan Internasional di Asia Tenggara
ASEAN Way
ASEAN Way dapat
dikatakan sebagai cara-cara ASEAN dalam menanggapi dan menanggulangi
permasalahan yang ada. Secara sederhana ASEAN Way juga merupakan suatu
pembentukan identitas bagi negara-negara Asia Tenggara di tengah maraknya
dominasi negara-negara Barat dan juga negara maju. ASEAN Way dapat menjadi
suatu pedoman bagi negara Asia Tenggara khususnya untuk bertindak atau dalam
menyelesaikan masalah. Beberapa karakteristik dari konsep ASEAN Way antara lain
adalah penghormatan terhadap kedaulatan masing-masing negara anggotanya dengan
tidak melakukan interensi terhadap masalah internal negara lain, mengusahakan
resolusi konflik dengan cara-cara damai serta tidak menggunakan ancaman
kekerasan. Metode yang digunakan dalam manajemen konflik melalui konsep ASEAN
Way umumnya didasarkan pada musyawarah atau konsensus. Hal ini untuk mencegah
pihak-pihak yang memiliki pengaruh besar untuk bertindak sewenang-wenang dan
ASEAN Way mendorong negara – negara di kawasan asia tenggara untuk mencari cara
untuk bekerja sama secara maksimal dengan cara dialog serta konsultasi.
Prinsip Non-Interference ASEAN (ASEAN Way)
Prinsip tidak
mencampuri urusan negara lain atau doctrine of non-interference merupakan salah
satu pondasi paling kuat menopang kelangsungan regionalisme ASEAN. Dengan
berlandaskan pada doktrin ini ASEAN dapat memelihara hubungan internal sehingga
menutup pintu bagi konflik militer antar negara ASEAN. Dari sudut pandang
negara anggota ASEAN, doktrin ini muncul sebagai bentuk kesadaran masing-masing
negara anggota yang pada tingkat domestik masih rentan terhadap ancaman
internal berupa kerusuhan hingga kudeta.
Doctrine of Non
Interference ini menjadi alasan bagi negara anggota ASEAN untuk
- Berusaha agar tidak melakukan penilaian kritis terhadap kebijakan pemerintah negara anggota terhadap rakyatnya masing-masing agar tidak menjadi penghalang bagi kelangsungan organisasi ASEAN,
- Mengingatkan negara anggota lain yang melanggar prinsip tersebut,
- Menentang pemberian perlindungan bagi kelompok oposisi negara anggota lain,
- Mendukung dan membantu negara anggota lain yang sedang menghadapi gerakan anti-kemapanan.
Sebagai konsekuensinya ASEAN berusaha tidak mengeluarkan pernyataan yang
sangat kritis terhadap negara anggota lain yang sedang menghadapi persoalan
internal. Sebagai misal, ASEAN menolak menjuluki rejim
Pol Pot sebagai sebagai rejim genocida.
ASEAN Way dianggap
sebagai suatu eksperimen yang berhasil dalam mengembangkan kerjasama
multilateral ekonomi dan keamanan. Paling tidak, dalam banyak cara, norma ASEAN
telah berhasil memelihara stabilitas regional di Asia Tenggara, khususnya
sebelum Asia Tenggara dihantam krisis ekonomi Asia tahun 1997 dan membantu
terbentuknya suatu rejim keamanan di Asia Pasifik dalam bentuk ARF.
Tetapi, sejak
ulang tahun ke 30 ASEAN, Juli 1997, ASEAN Way, dan khususnya norma non
intervensi secara ironis menjadi suatu alasan utama dari runtuhnya reputasi
ASEAN. Keterbatasan yang inheren dimiliki oleh norma non intervensi menjadi
faktor dalam menerangkan sebab menurunnya efektifitas organisasi. Alasan untuk
mengaplikasikan norma non intervensi sesungguhnya telah ketinggalan jaman bila
dikaitkan dengan perkembangan lingkungan internasional dan regional. Prinsip
non intervensi menjadi doktrin bagi ASEAN pada tahun 1976 ketika anggota ASEAN
merasa ketakutan dengan dukungan pihak luar terhadap bangkitnya pemberontakan
komunis dalam negeri. Padahal dengan runtuhnya bipolar system dan perluasan
ASEAN dengan memasukkan Vietnam yang negara komunis, alasan untuk
mempertahankan secara kuat prinsip non intervensi menjadi tidak relevan.
Kelemahan lain
dalam non intervensi adalah berkaitan dengan tekanan pihak luar. Pengertian non
intervensi menerima tantangan dari perluasan nilai-nilai hak-hak azasi manusia,
demokrasi dan ide-ide lingkungan yang secara kuat dikampanyekan oleh pihak
Barat. Di ASEAN, non intervensi diinterpretasikan sebaggai suatu komitmen yang
kuat terhadap kedaulatan negara (Busse 1999:46). Ide normatif dari kedaulatan
menjadi standard acuan bagi hampir semua keputusan politik di kawasan dan
merupakan landasan bagi semua upaya ASEAN dalam menciptakan aturan regional.
Tetapi, masalah yang dianggap sebagai suatu masalah internal, domestik, telah
menjadi masalah internasional dan setiap orang, contohnya masalah hak azasi
manusia. Pihak Barat cenderung melihat hak azasi manusia memiliki karakter
internasional, sementara ASEAN beranggapan implementasi dari masalah hak-hak
azasi manusia adalah merupakan hak negara, tidak dapat diintervensi oleh pihak
luar.
Skope dari
prinsip non intervensi telah diinterpretasikan secara sempit padahal batas
masalah-masalah dalam negeri adalah menjadi kabur. Garis batas antara masalah
dalam negeri dan isu-isu eksternal atau tradisional menjadi berkurang.
Contohnya masalah keamanan di Burma tidak hanya berimbas pada pemerintahan
Thailand yang harus berurusan dengan para pengungsi yang melintas batas dan
harus turut terlibat dalam masalah dalam negeri Burma, tapi pemerintah Thailand
juga menuai kritik dari masyarakat Thailand sendiri dalam penanganan kasus
Burma ini pada tahun 1989.
Masalah asap dari kebakaran hutan di
Indonesia adalah contoh yang paling jelas bahwa masalah internal dapat
menimbulkan dampak yang sangat mengganggu bagi negara lain dan dampak ini juga
memakan ongkos baik materi, kesehatan dan hubungan sosial dan politik antara
Indonesia dan negara ASEAN lain., disamping kritik dari seluruh dunia. Tanpa
suatu pengecualian atau pendekatan tertentu terhadap ruang lingkup, batas, tipe
masalah, maka norma non intervensi yang digunakan oleh ASEAN tidak akan mampu
untuk menangani dan menyelesaikan konflik dengan memuaskan.
The Asean Way dan kelemahan ASEAN sejak
1997
Keberadaan ASEAN
sebagai institusi dapat difungsikan sebagai salah satu strategi diplomasi,
asosiatif, bilamana hubungan bilateral negara secara formal tidak sanggup dalam
menyelesaikan konflik yang ada. Namun kemajuan yang dialami ASEAN bukanlah
tanpa hambatan. Pada tahun 1997 banyak kalangan, baik di lingkungan ASEAN
sendiri maupun di dunia internasional, menilai bahwa organisasi ini hampir
lumpuh dan dibuat tidak berdaya oleh berbagai kesulitan yang merupakan akibat
dari sejumlah perkembangan. Pertama, ASEAN dinilai terlalu cepat dalam
melakukan perluasan keanggotaan yang kini telah mencakup seluruh negara Asia
Tenggara. Kedua, kesulitan yang dihadapi ASEAN sekarang ini juga disebabkan
oleh terjadinya sejumlah perubahan fundamental di bidang politik dan ekonomi di
beberapa negara kunci, seperti Indonesia, Thailand, dan Filipina. Ada juga yang
menilai bahwa kelemahan ASEAN sekarang ini disebabkan oleh runtuhnya
kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN. Singkatnyanya, ASEAN dianggap telah
kehilangan sentralitas diplomatik yang pernah dinikmatinya selama dekade
1980-an sampai awal 1990-an, kemudian masalah pelanggaran HAM oleh rezim
militer Myanmar yang berlarut-larut sampai sekarang serta masalah kebakaran
hutan di Indonesia yang menyebabkan kabut asap sampai ke Malaysia, Brunei dan
Singapura. Semua kasus ini menunjukkan tidak efektifnya diplomasi dan
ketidakkompakkan diantara negara anggota ASEAN dalam mengatasi konflik regional
atas isu yang sensitif, bahkan melalui The ASEAN Way sekalipun (negosiasi
informal ASEAN untuk membangun konsensus bersama dalam upaya untuk menghindari
konflik).
Dengan segala
kelebihan dan kelemahannya, The ASEAN Way tetap dipertahankan sampai sekarang,
termasuk dalam menyelesaikan masalah terorisme. Namun perkembangan ASEAN dengan
keberadaan ARF, tampaknya dapat menjadi pelengkap dari kekurangefektivan dari
The ASEAN Way. ARF, didirikan 23 Juli 1993, adalah wadah dan sarana saling
bertukar pandangan dan informasi secara terbuka mengenai berbagai masalah,
mulai dari politik, keamanan, lingkungan hidup, dst. Secara khusus ARF ditunjukan untuk bisa
bersama-sama memecahkan masalah keamanan baik regional maupun internasional.
Sasaran yang hendak dicapai melalui ARF adalah mendorong saling percaya melalui
transparansi dan mencegah kemungkinan timbulnya ketegangan maupun konflik di
kawasan Asia Pasifik.
Sebagai satu-satunya forum dialog keamanan di luar PBB, yang dihadiri
kekuatan besar dunia antara lain: Amerika Serikat, China, Rusia, Uni Eropa dan
Jepang, pembahasan dan tukar pandangan dalam ARF memiliki makna penting dan
strategis.[3] Proses ARF lebih mencerminkan “ ide ASEAN Way” yaitu menjalin
hubungan untuk menumbuhkan rasa saling percaya dan kebiasaan berdialog serta
berkonsultasi dalam masalah-masalah keamanan. ARF telah berhasil meningkatkan
kenyamanan diantara para peserta dalam membicarakan isu keamanan. Sebagai
contoh, China telah bersedia untuk membicarakan masalah Laut China Selatan
dalam ARF, yang sebelumnya sulit dilakukan. ARF, dengan segala perundingan dan
konsensusnya bisa dibilang telah berkarakter sangat ASEAN.
Keberadaan ASEAN selama ini merupakan
jaminan keamanan bagi hubungan damai dan harmonis di antara para
anggotanya dalam menghadapi suatu sengketa yang melibatkan setiap negara-negara
anggota ASEAN yang ditekankan lebih memilih cara-cara damai tanpa menggunakan
kekerasan. Sebab, selain hal itu sangat menguntungkan para pihak yang sedang bersengketa
dan juga berimplikatif positif terhadap stabilitas keamanan di wilayah kawasan
Asia Tenggara.
Menurut Bantarto Bandoro, pengamat politik internasional dari CSIS
menyatakan lewat kedaulatan negara-negara anggotanya, the ASEAN Way sekaligus
menjadi upaya menunjukkan kedaulatan ASEAN di mata dunia. Absolutisme the ASEAN
Way terbukti saat negara-negara anggota ASEAN sendiri terlibat pertikaian
bilateral. Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan yang muncul sejak 1969 antara
Indonesia-Malaysia misalnya, justru diselesaikan lewat Makamah Internasional.
Komitmen penyelesaian sengketa antar anggota ASEAN baru pertama muncul setelah seperempat abad
aliansi regional ini berdiri. Berdasarkan komunike keamanan regional ini juga
akhirnya ASEAN mengirimkan pasukan perdamaian saat Timor Timur dilanda konflik
pasca referendum. Sebelumnya ASEAN lebih banyak berperan di balik resolusi PBB.
Jika ASEAN berencana meningkatkan integrasi komunitas regionalnya, maka
komitmen absolut ini harus dipikirkan kembali, komitmen menghormati kedaulatan
negara mau tak mau harus dibuat lebih fleksibel. Terutama saat berhadapan dengan kasus pelanggaran HAM,
penerapan demokrasi dan sengketa-sengketa yang tengah dihadapi oleh sesama
negara anggota ASEAN. Tak bisa dipungkiri melenyapkan the ASEAN Way berarti
akan mengusik urusan dalam negeri negara-negara anggota ASEAN sendiri. Bahkan
negara-negara pendiri ASEAN semisal Thailand, Filipina, maupun Indonesia
memiliki catatan kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan. Hanya dengan
menyelesaikan masalah-masalah internal negara-negara anggotanya akan membawa
citra baik ASEAN di mata dunia internasional. Sejak ASEAN pertama kali
didirikan tahun 1967, ASEAN telah mengusung
prinsip the ASEAN Way, yang salah satunya menghormati kedaulatan
masing-masing negara anggota. Prinsip ini terpicu perang dingin di masa itu,
yang menyeret regional Asia Tenggara ke dalam pertarungan dua adidaya dunia.
Kehadiran the ASEAN Way berusaha menjaga indepensi masing-masing anggotanya,
sekalipun secara bersamaan membatasi ASEAN ikut campur dalam penyelesaian sengketa antar anggota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar