Kamis, 07 Januari 2016

Sonia Regina Francisca - 1202045057 - Tugas ASEAN Way





Nama    : Sonia Regina Francisca
Kelas     : HI REG B (2012)
NIM       : 1202045057
Matkul  : Hubungan Internasional di Asia Tenggara


ASEAN Way


ASEAN Way dapat dikatakan sebagai cara-cara ASEAN dalam menanggapi dan menanggulangi permasalahan yang ada. Secara sederhana ASEAN Way juga merupakan suatu pembentukan identitas bagi negara-negara Asia Tenggara di tengah maraknya dominasi negara-negara Barat dan juga negara maju. ASEAN Way dapat menjadi suatu pedoman bagi negara Asia Tenggara khususnya untuk bertindak atau dalam menyelesaikan masalah. Beberapa karakteristik dari konsep ASEAN Way antara lain adalah penghormatan terhadap kedaulatan masing-masing negara anggotanya dengan tidak melakukan interensi terhadap masalah internal negara lain, mengusahakan resolusi konflik dengan cara-cara damai serta tidak menggunakan ancaman kekerasan. Metode yang digunakan dalam manajemen konflik melalui konsep ASEAN Way umumnya didasarkan pada musyawarah atau konsensus. Hal ini untuk mencegah pihak-pihak yang memiliki pengaruh besar untuk bertindak sewenang-wenang dan ASEAN Way mendorong negara – negara di kawasan asia tenggara untuk mencari cara untuk bekerja sama secara maksimal dengan cara dialog serta konsultasi.


Prinsip Non-Interference ASEAN (ASEAN Way)


Prinsip tidak mencampuri urusan negara lain atau doctrine of non-interference merupakan salah satu pondasi paling kuat menopang kelangsungan regionalisme ASEAN. Dengan berlandaskan pada doktrin ini ASEAN dapat memelihara hubungan internal sehingga menutup pintu bagi konflik militer antar negara ASEAN. Dari sudut pandang negara anggota ASEAN, doktrin ini muncul sebagai bentuk kesadaran masing-masing negara anggota yang pada tingkat domestik masih rentan terhadap ancaman internal berupa kerusuhan hingga kudeta.


Doctrine of Non Interference ini menjadi alasan bagi negara anggota ASEAN untuk
  1. Berusaha agar tidak melakukan penilaian kritis terhadap kebijakan pemerintah negara anggota terhadap rakyatnya masing-masing agar tidak menjadi penghalang bagi kelangsungan organisasi ASEAN,
  2. Mengingatkan negara anggota lain yang melanggar prinsip tersebut,
  3. Menentang pemberian perlindungan bagi kelompok oposisi negara anggota lain,
  4. Mendukung dan membantu negara anggota lain yang sedang menghadapi gerakan anti-kemapanan.

Sebagai konsekuensinya ASEAN berusaha tidak mengeluarkan pernyataan yang sangat kritis terhadap negara anggota lain yang sedang menghadapi persoalan internal. Sebagai misal, ASEAN menolak menjuluki rejim Pol Pot sebagai sebagai rejim genocida.
ASEAN Way dianggap sebagai suatu eksperimen yang berhasil dalam mengembangkan kerjasama multilateral ekonomi dan keamanan. Paling tidak, dalam banyak cara, norma ASEAN telah berhasil memelihara stabilitas regional di Asia Tenggara, khususnya sebelum Asia Tenggara dihantam krisis ekonomi Asia tahun 1997 dan membantu terbentuknya suatu rejim keamanan di Asia Pasifik dalam bentuk ARF.
Tetapi, sejak ulang tahun ke 30 ASEAN, Juli 1997, ASEAN Way, dan khususnya norma non intervensi secara ironis menjadi suatu alasan utama dari runtuhnya reputasi ASEAN. Keterbatasan yang inheren dimiliki oleh norma non intervensi menjadi faktor dalam menerangkan sebab menurunnya efektifitas organisasi. Alasan untuk mengaplikasikan norma non intervensi sesungguhnya telah ketinggalan jaman bila dikaitkan dengan perkembangan lingkungan internasional dan regional. Prinsip non intervensi menjadi doktrin bagi ASEAN pada tahun 1976 ketika anggota ASEAN merasa ketakutan dengan dukungan pihak luar terhadap bangkitnya pemberontakan komunis dalam negeri. Padahal dengan runtuhnya bipolar system dan perluasan ASEAN dengan memasukkan Vietnam yang negara komunis, alasan untuk mempertahankan secara kuat prinsip non intervensi menjadi tidak relevan.


Kelemahan lain dalam non intervensi adalah berkaitan dengan tekanan pihak luar. Pengertian non intervensi menerima tantangan dari perluasan nilai-nilai hak-hak azasi manusia, demokrasi dan ide-ide lingkungan yang secara kuat dikampanyekan oleh pihak Barat. Di ASEAN, non intervensi diinterpretasikan sebaggai suatu komitmen yang kuat terhadap kedaulatan negara (Busse 1999:46). Ide normatif dari kedaulatan menjadi standard acuan bagi hampir semua keputusan politik di kawasan dan merupakan landasan bagi semua upaya ASEAN dalam menciptakan aturan regional. Tetapi, masalah yang dianggap sebagai suatu masalah internal, domestik, telah menjadi masalah internasional dan setiap orang, contohnya masalah hak azasi manusia. Pihak Barat cenderung melihat hak azasi manusia memiliki karakter internasional, sementara ASEAN beranggapan implementasi dari masalah hak-hak azasi manusia adalah merupakan hak negara, tidak dapat diintervensi oleh pihak luar.


Skope dari prinsip non intervensi telah diinterpretasikan secara sempit padahal batas masalah-masalah dalam negeri adalah menjadi kabur. Garis batas antara masalah dalam negeri dan isu-isu eksternal atau tradisional menjadi berkurang. Contohnya masalah keamanan di Burma tidak hanya berimbas pada pemerintahan Thailand yang harus berurusan dengan para pengungsi yang melintas batas dan harus turut terlibat dalam masalah dalam negeri Burma, tapi pemerintah Thailand juga menuai kritik dari masyarakat Thailand sendiri dalam penanganan kasus Burma ini pada tahun 1989.


Masalah asap dari kebakaran hutan di Indonesia adalah contoh yang paling jelas bahwa masalah internal dapat menimbulkan dampak yang sangat mengganggu bagi negara lain dan dampak ini juga memakan ongkos baik materi, kesehatan dan hubungan sosial dan politik antara Indonesia dan negara ASEAN lain., disamping kritik dari seluruh dunia. Tanpa suatu pengecualian atau pendekatan tertentu terhadap ruang lingkup, batas, tipe masalah, maka norma non intervensi yang digunakan oleh ASEAN tidak akan mampu untuk menangani dan menyelesaikan konflik dengan memuaskan.


The Asean Way dan kelemahan ASEAN sejak 1997

Keberadaan ASEAN sebagai institusi dapat difungsikan sebagai salah satu strategi diplomasi, asosiatif, bilamana hubungan bilateral negara secara formal tidak sanggup dalam menyelesaikan konflik yang ada. Namun kemajuan yang dialami ASEAN bukanlah tanpa hambatan. Pada tahun 1997 banyak kalangan, baik di lingkungan ASEAN sendiri maupun di dunia internasional, menilai bahwa organisasi ini hampir lumpuh dan dibuat tidak berdaya oleh berbagai kesulitan yang merupakan akibat dari sejumlah perkembangan. Pertama, ASEAN dinilai terlalu cepat dalam melakukan perluasan keanggotaan yang kini telah mencakup seluruh negara Asia Tenggara. Kedua, kesulitan yang dihadapi ASEAN sekarang ini juga disebabkan oleh terjadinya sejumlah perubahan fundamental di bidang politik dan ekonomi di beberapa negara kunci, seperti Indonesia, Thailand, dan Filipina. Ada juga yang menilai bahwa kelemahan ASEAN sekarang ini disebabkan oleh runtuhnya kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN. Singkatnyanya, ASEAN dianggap telah kehilangan sentralitas diplomatik yang pernah dinikmatinya selama dekade 1980-an sampai awal 1990-an, kemudian masalah pelanggaran HAM oleh rezim militer Myanmar yang berlarut-larut sampai sekarang serta masalah kebakaran hutan di Indonesia yang menyebabkan kabut asap sampai ke Malaysia, Brunei dan Singapura. Semua kasus ini menunjukkan tidak efektifnya diplomasi dan ketidakkompakkan diantara negara anggota ASEAN dalam mengatasi konflik regional atas isu yang sensitif, bahkan melalui The ASEAN Way sekalipun (negosiasi informal ASEAN untuk membangun konsensus bersama dalam upaya untuk menghindari konflik).

Dengan segala kelebihan dan kelemahannya, The ASEAN Way tetap dipertahankan sampai sekarang, termasuk dalam menyelesaikan masalah terorisme. Namun perkembangan ASEAN dengan keberadaan ARF, tampaknya dapat menjadi pelengkap dari kekurangefektivan dari The ASEAN Way. ARF, didirikan 23 Juli 1993, adalah wadah dan sarana saling bertukar pandangan dan informasi secara terbuka mengenai berbagai masalah, mulai dari politik, keamanan, lingkungan hidup, dst. Secara khusus ARF ditunjukan untuk bisa bersama-sama memecahkan masalah keamanan baik regional maupun internasional. Sasaran yang hendak dicapai melalui ARF adalah mendorong saling percaya melalui transparansi dan mencegah kemungkinan timbulnya ketegangan maupun konflik di kawasan Asia Pasifik.






Sebagai satu-satunya forum dialog keamanan di luar PBB, yang dihadiri kekuatan besar dunia antara lain: Amerika Serikat, China, Rusia, Uni Eropa dan Jepang, pembahasan dan tukar pandangan dalam ARF memiliki makna penting dan strategis.[3] Proses ARF lebih mencerminkan “ ide ASEAN Way” yaitu menjalin hubungan untuk menumbuhkan rasa saling percaya dan kebiasaan berdialog serta berkonsultasi dalam masalah-masalah keamanan. ARF telah berhasil meningkatkan kenyamanan diantara para peserta dalam membicarakan isu keamanan. Sebagai contoh, China telah bersedia untuk membicarakan masalah Laut China Selatan dalam ARF, yang sebelumnya sulit dilakukan. ARF, dengan segala perundingan dan konsensusnya bisa dibilang telah berkarakter sangat ASEAN.

Keberadaan ASEAN selama ini merupakan  jaminan keamanan bagi hubungan damai dan harmonis di antara para anggotanya dalam menghadapi suatu sengketa yang melibatkan setiap negara-negara anggota ASEAN yang ditekankan lebih memilih cara-cara damai tanpa menggunakan kekerasan. Sebab, selain hal itu sangat menguntungkan para pihak yang sedang bersengketa dan juga berimplikatif positif terhadap stabilitas keamanan di wilayah kawasan Asia Tenggara.

Menurut Bantarto Bandoro, pengamat politik internasional dari CSIS menyatakan lewat kedaulatan negara-negara anggotanya, the ASEAN Way sekaligus menjadi upaya menunjukkan kedaulatan ASEAN di mata dunia. Absolutisme the ASEAN Way terbukti saat negara-negara anggota ASEAN sendiri terlibat pertikaian bilateral. Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan yang muncul sejak 1969 antara Indonesia-Malaysia misalnya, justru diselesaikan lewat Makamah Internasional. Komitmen penyelesaian sengketa antar anggota ASEAN baru  pertama muncul setelah seperempat abad aliansi regional ini berdiri. Berdasarkan komunike keamanan regional ini juga akhirnya ASEAN mengirimkan pasukan perdamaian saat Timor Timur dilanda konflik pasca referendum. Sebelumnya ASEAN lebih banyak berperan di balik resolusi PBB. Jika ASEAN berencana meningkatkan integrasi komunitas regionalnya, maka komitmen absolut ini harus dipikirkan kembali, komitmen menghormati kedaulatan negara mau tak mau harus dibuat lebih fleksibel. Terutama saat  berhadapan dengan kasus pelanggaran HAM, penerapan demokrasi dan sengketa-sengketa yang tengah dihadapi oleh sesama negara anggota ASEAN. Tak bisa dipungkiri melenyapkan the ASEAN Way berarti akan mengusik urusan dalam negeri negara-negara anggota ASEAN sendiri. Bahkan negara-negara pendiri ASEAN semisal Thailand, Filipina, maupun Indonesia memiliki catatan kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan. Hanya dengan menyelesaikan masalah-masalah internal negara-negara anggotanya akan membawa citra baik ASEAN di mata dunia internasional. Sejak ASEAN pertama kali didirikan tahun 1967, ASEAN telah mengusung  prinsip the ASEAN Way, yang salah satunya menghormati kedaulatan masing-masing negara anggota. Prinsip ini terpicu perang dingin di masa itu, yang menyeret regional Asia Tenggara ke dalam pertarungan dua adidaya dunia. Kehadiran the ASEAN Way berusaha menjaga indepensi masing-masing anggotanya, sekalipun secara bersamaan membatasi ASEAN ikut campur dalam  penyelesaian sengketa antar anggota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar