Rabu, 06 Januari 2016

Wiwin Rahmah Sari - 1302045148 - Efektifitas Prinsip Non-Intervensi ASEAN Way Dalam Upaya Penyelesai Konflik Regional



Nama   : Wiwin Rahmah Sari
Nim     : 1302045148

Efektifitas Prinsip Non-Intervensi ASEAN Way Dalam Upaya Penyelesai Konflik Regional

Association of Southeast Asia Nations terbentuk pada tanggal 8 Agustus 1967 oleh kesepakatan 5 negara Asia Tenggara dalam pertemuan mereka di Bangkok, Thailand pada masa Perang Dingin, setelah kegagalan pembentukan SEATO (Southeast Asia treaty Organization) badan pertahanan regional pertama di Asia Tenggara yang dibubarkan karena terdapat konflik internal yang rumit (Suryadinata, 1998), dan ASA (Association of Southeast Asia). ASEAN berfokus dalam hubungan kerjasama untuk mempromosikan kedamaian serta kesejahteraan kawasan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, pendidikan, militer, dan sosial budaya.

Sejak awal pembentukannya 36 tahun silam, ASEAN telah mengembangkan budaya diplomasinya sendiri, yang bersumber pada nilai-nilai budaya Timur yang lebih mementingkan harmoni dan menghindari konflik. Sejak didirikannya melalui Deklarasi Bangkok tahun 1967, bangsa-bangsa Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN mengembangkan apa yang disebut sebagai "the ASEAN spirit" atau "the ASEAN way". Semangat atau cara ASEAN ini antara lain mencakup prinsip untuk menyelesaikan segala persoalan dengan cara damai, melalui dialog, dan menghindari penggunaan kekerasan atau pemaksaan kehendak. 


Sebagai bentuk kerja sama regional, terdapat banyak sekali permasalahan yang dapat menjadi sebuah pemicu permasalahan baru jika sedari awal tidak dibuat ketentuan yang mengatur setiap negara yang ada. Disinilah ASEAN Way berperan, seperti yang dikatakan oleh Khoo, pada dasarnya ASEAN Way memuat norma-norma yang mengatur segala tindakan setiap aktor negara. Misalnya, norma non-intervensi yang mengatur bagaimana kerja sama ASEAN tidak ‘menghalalkan’ ikut campur berlebih dalam permasalahan internal, dan norma non penggunaan angkatan bersenjata yang membuat setiap negara dalam kawasan Asia Tenggara ini bersama menghindari konflik yang mengancam keamanan.
Pada dasarnya, ASEAN Way menggunakan metode manajemen konflik didasarkan pada musyawarah dengan tujuan agar tidak terdapat pihak hegemon tertentu yang mendominasi. Dalam catatan sejarahnyam, ASEAN Way telah ‘menelurkan’ satu produk ASEAN dalam menangani isu keamanan, yaitu Zone of Peace Freedom and Nationalis (ZOPFAN). Dimana ZOPFAN bertujuan untuk menjaga stabilitas keamanan. Selain itu ASEAN Way juga diterapkan ketika terjadi konflik di wilayah Indochina yang melibatkan Kamboja, Thailand serta Vietnam tahun 1979, dimana Vietnam yang mengambil alih pemerintahan kamboja dengan menggulingkan rezim Polpot dianggap telah melanggar prinsip non-intervensi. Penyelesaian dilakukan melalui pertemuan Jakarta Informal Meeting yang berlangsung selama dua kali dan berhasil memberikan dampak yang positif, yang mana kemudian berujung pada penarikan pasukan Vietnam dari Kamboja.


Perlu adanya perbaikan yang harus dilakukan pihak ASEAN dalam penerapan ASEAN Way. Hal ini dapat dilihat dari keefektifan ASEAN Way dalam menyelesaikan konflik dan menghindari terjadinya konflik. Banyak pihak yang pesimis akan keberhasilan ASEAN Way, menurut saya hal ini dikarenakan pandangan bahwa ASEAN Way hanya sebuah kumpulan norma dan prinsip, tidak dibekukan menjadi sebuah hukum regional yang memiliki legitimasi untuk mengatur tindakan negara secara tegas. Penyempurnaan dilakukan bermula pada ASEAN Ministerail Meeting ke-21 di Manila. Thailand, didukung Filipina, mengusulkan kebijakan “Flexible Engagement”. Alasan Thailand, masalah domestik anggota ASEAN bukan lagi melalui masalah dalam negeri, tetapi sudah berdampak regional.


Fleksibelitas hubungan yang terjadi diantara anggota ASEAN harus senantiasa menghindarkan intervensi pihak asing yang dapat mempengaruhi dinamika hubungan negara-negara ASEAN (Haacke, 1999: 584). Sesuai dengan pernyataan Haacke, banyak pengamat menilai keberhasilan ASEAN sejauh ini harus ada perbedaan antara kemandirian regional dari intervensi asing. Permasalahan yang kemudian muncul adalah akibat dari globalisasi yang membuat batas pembeda antara isu domestik dan isu internasional begitu kabur. Isu seperti Hak asasi manusia dan demokrasi mungkin terjadi dalam tingkat domestik negara, namun hal ini telah menjadi salah satu isu low politic bagi semua negara. Keadaan ini membuat prinsip non-intervensi dari ASEAN Way menjadi sebuah bentuk ambiguitasan tersendiri. Dalam hal ini penerapan prinsip non-intervensi secara tegas mulai menjadi tidak relevan. 


Prinsip ini harus diartikan menjadi cara yang lebih fleksibel. Pernyataan Menlu Thailand Surin Pitsuwan dalam artikel Ramcharan (2000:75) juga sesuai dengan prinsip ASEAN mengenai non-intervensi perlu diganti dengan intervensi yang konstruktif. Dalam artian ini, perlu adanya intervensi ketika terjadi permasalahan di suatu negara yang berpotensi mengancam kestabilan regional suatu kawasan.
Kasus Myanmar sebenarnya menjadikan ASEAN tidak berubah  pasca diratifikasinya ASEAN Charter tanggal 15 Desember 2008 lalu. Hingga saat ini, ASEAN sebetulnya hanya ”membuat suatu proses” dari pada mencapai suatu kemajuan dalam penegakkan HAM dan Demokrasi. Di satu sisi ASEAN ingin menjadi dirinya sendiri sebagai institusi yang terintegrasi, namun disisi lain masih belum dapat mengubah prinsip kedaulatan dan non-intervensi. 


Kesenjangan ini jelas merupakan hambatan bagi ASEAN untuk berpindah dari posisinya saat ini, terutama untuk menerapkan prinsip-prinsip baru terutama dalam hal menegakkan demokrasi dan HAM. Karena itu, ASEAN Charter tidak lebih dari sekedar rekonfirmasi ASEAN yang ”lama” didalam suatu kemasan yang baru (The old wine in the new bottle).


Banyak pihak sepakat untuk melakukan intervensi atau terlibat hanya dalam keadaan-keadaan tertentu misalnya saat terjadi permasalahan yang dapat memberikan ancaman terhadap identitas ASEAN sebagai organisasi regional dimana negara yang demokrastis dan otoritas dapat muncul secara bersamaan; atau permasalahan yang dapat berakibat buruk pada rezim keamanan yang sebelumnya telah berada dalam bahaya sebagai akibat dari kekacauan sosial-ekonomi yang merupakan akibat dari krisis finansial regional (Ramcharan, 2000: 79). Komitmen dan saling percaya antar negara anggota merupakan suatu dasar untuk menerapkan perubahan ini. Ketika ASEAN sudah berhasil mencapai tahap integrasi yang utuh, maka prinsip intervensi konstruktif dalamASEAN Way seharusnya bukan merupakan sebuah hal yang bukan tidak mungkin lagi bagi ASEAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar